Selasa, 25 September 2012

filosofi Keagamaan d kota Maduran


FILOSOFI KEAGAMAAN DI DESA MADURAN KABUPATEN LAMONGAN

1.      NAHDLATUL ULAMA
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926 M) di Surabaya oleh beberapa ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimpin/pengasuh pesantren dan pelopor utamanya adalah KH. Hasyim Asyari, pendiri sekaligus pengasuh Pon Pes. Tebuireng – Jmbang pada tahun itu. Tujuan didirikannya adalah berlakunya ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dan menganut salah satu mazhab empat. Ini berarti NU Maduran  adalah organisasi keagamaan yang secara  konstitusional membela dan mempertahankan Aswaja, dengan disertai batasan yang fleksibel. NU Maduran menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal.
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU Maduran ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU.NU Maduran mempunyai banyak organisasi yaitu IPNU,IPPU,Fatayat,Muslimat dan masih banyak.Biasanya warga NU Maduran mengadakan acara yaitu di masjid atau di musholla di sekitar. Selain acara d laksanakan d tempat sendiri,biyasanya warga NU Maduran mengadakan acara ziarah wali yang sangat peduli terhadap  pejuang islam dan juga peduli dengan adanya pesantren.Sikap lain yang ditunjukkan warga NU Maduran  adalah tawazun atau sikap netral yang dalam berpolitik yaitu tidak membenarkan kelompok bergaris keras , tetapi jika berhadapan dengan penguasa yang dzalim mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan musyawarah. Sedangkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, Aswaja mempunyai sikap toleran yang tampak dalam pergaulan dengan sesama muslim dengan tidak saling mengkafirkan dan terhadap umat lain saling menghargai.






2.      MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
Muhammadiyah Maduran memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki  juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.Muhammadiyah Maduran juga mempunyai banyak Organisasi yaitu     Aisyiyah,Pemuda Muhammadiyah, Nasyiyatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Hizbul Wathan,Tapak Suci dan banyak lagi.
Program Muhammadiyah secara umum dijabarkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke dalam Kebijakan Pelaksanaan Program Muhammadiyah sehingga menjadi sistem kegiatan yang operasional, baik program umum maupun bidang. Pelaksanaan program di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah selain mengacu pada landasan dan prinsip Program Muhammadiyah, juga dikembangkan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang semakin mengarah pada kualitas sesuai dengan jenis/bidang dan tujuan amal usaha yang bersangkutan.




Konflik Hukum Syar’i Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Permasalahan yang sampai sekarang selalu muncul dalam tubuh tubuh umat Islam di Indonesia (terutama organisasi keagamaan di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah) adalah qunut dalam shalat. Oleh karenanya dengan adanya penelitian ini diharapkan akan dapat melihat akar permasalahan dari polemik tersebut. Dengan pendekatan komparatif, penulis berusaha memaparkan dan membandingkan antara keduanya, berkaitan dengan pengertian sampai pada pelaksanaan qunut dalam shalat.Qunut menurut NU secara etimologi mempunyai beberapa makna, yaitu qunut mempunyai arti doa, khusyu', ibadah, taat, pengakuan ibadah, melaksanakan ibadah, diam, mengerjakan shalat dengan lama, melanggengkan taat. Sedangkan menurut syarak yaitu doa tertentu yang dibaca dalam shalat dan masih dalam keadaan berdiri. Qunut adalah do'a yaitu do'a yang dikerjakan secara khusuk ketika melakukan ibadah atau shalat yang dilakukan dalam keadaan berdiri setelah rukuk sebagai ibadah kepada Allah SWT.24 Qunut dalam pandangan Muhamadiyah yaitu qunut yang berarti berdiri lama dalam shalat dengan membaca ayat al-qur'an dan berdo'a sekehendak hati. Penulis dalam hal ini, dapat mengambil pengertian bahwa definisi qunut menurut Muhamadiyah adalah berdiri lama dalam shalat untuk berdo'a atau membaca ayat al-Qur'an. Persamaan yang dapat diambil dari permasalahan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah dalam pengambilan suatu hukum didasarkan pada al-Qur'an dan Sunnah, begitupun dalam masalah qunut tidak ada satu hukum yang digali oleh seorang mujtahid kecuali bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah.
Perbedaan qunut menurut NU dan Muhamadiyah adalah pembagian qunut dalam tiga macam. Di antaranya:  qunut subuh dalam NU berarti membaca doa qunut dalam shalat subuh sepanjang tahun sedangkan menurut Muhamadiyah adalah berdiri sementara pada shalat subuh, sesudah ruku' pada rekaat kedua dengan membaca doa allahumah dini fiiman hadait dan seterusnya.
Qunut nazilah dalam NU adalah qunut yang dibaca ketika terjadi becana atau musibah dan disunahkan membaca qunut nazilah dalam shalat fardlu, sedangkan menurut Muhamadiyah qunut nazilah menurut riwayat hadits tidak boleh diamalkan, boleh dikerjakan dengan tidak menggunakan kutukan dan permohonan pembalasan terhadap perorangan. Ketiga, qunut witir menurut NU yang disertakan dalam shalat witir yaitu yang dikerjakan pada tanggal 16 ke atas dalam bulan Ramadhan, sedangkan dalam Muhamadiyah masih dalam perselisihan oleh ahli-ahli hadits.NU dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama berdasarkan Al-qur'an dan Hadist. Persoalan yang membedakan mereka adalah cara-nya mencapai Dasar hukum Al-qur'an dan Hadist itu. Semisal ; Kalau Muhammadiyah mengambil dasar hukum didahului dengan melihat Al-qur'an dan Hadist dulu, apakah ada dalilnya.. kalau tidak ada barulah menkaji dan menganalogikan dengan dalil yang dekat dengan persoalan itu. Berbeda dengan NU, Kalau ada persoalan di kaji dulu masalah itu dan kemudian dicari dalil hukumnya dari berbagai tokoh ulama atau kyai, baru kemudian dilihat ke Al-qur'an atau Hadist, tetapi kalau di buku-buku karangan kyai atau Ulama sudah cukup kadang tidak terus mencari Al-qur’an dan Hadist.Kalau secara pergaulan dan cara kesaharian orang-orang NU dan Muhammadiyah, NU lebih terkesan tradisional dan Muhammadiyah terkesan Modern, secara organisatoris.
SIMPULAN
Sesungguhnya tidak ada satu pun prinsip di dalam ormas Nahdhatul Ulama dan ormas Muhammadiyah yang bertentangan. Keduanya justru saling menguatkan. Kalau pun ada perbedaan pendapat, sama sekali bukan pada prinsip dan AD/ART-nya, melainkan perbedaan pendapat antara sesama anak bangsa, tapi mengatas-namakan kedua ormas itu. Apalagi kalau dijadikan bahan perbedaan masalah hukum agama atau khilafiyah. Sesungguhnya kedua ormas itu sama sekali tidak pernah secara resmi menetapkan garis fiqih mereka, atau detail pendapat mereka. Apa yang dikeluarkan oleh masing-masing ulama mereka, lebih merupakan hal yang tidak mengikat kepada anggotanya, tetapi lebih merupakan ijtihad masing-masing tokoh yang bersifat pilihan.
Muhammadiyah dan NU memiliki beberapa perbedaan mendasar, baik dalam teologi, visi politik maupun perbedaan yang bersifat umum, dalam hal ini perbedaan sumber daya dan infrastruktur yang kemudian berpengaruh pada jalannya kedua organisasi tersebut kurang berimbang. Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan antara Muhammadiyah dan NU memiliki jarak mencolok, menjadikan kedua organisasi ini jurang pemisahnya terlalu lebar. Akibatnya, tidak produktifnya bagi perkembangan wacana kebangsaan maupun wacana keagamaan.
Tidak pernah ada anggota Nahdhatul Ulama yang gugur keanggotaannya hanya lantaran dia berpendapat bahwa qunut shalat shubuh itu bid’ah. Sebaliknya, tidak ada anggota Muhammadiyah yang dikeluarkan gara-gara dia lebih merajihkan pendapat tentang kesunnahan shalat shubuh. Apalagi kalau kita mengingat bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya bukan hak paten masing-masing ormas. Juga bukan trade mark yang unik dan membedakan jati dirinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar